Peristiwa Rengasdengklok adalah penculikan Soekarno dan Hatta oleh pemuda untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan Indonesia. Setelah perundingan, rombongan ini kemudian berangkat ke Jakarta, dimana proklamasi dilakukan pada 17 Agustus 1945.Read less
Peristiwa Kedatangan Bangsa Barat
Mulai akhir abad XV, bangsa Eropa berusaha melakukan penjelajahan samudra. Bangsa Eropa yang pernah melakukan penjelajahan dan penjajahan di Indonesia dimulai oleh bangsa Portugis. Kapal mereka pertama kali mendarat di Malaka pada tahun 1511. Berikutnya ialah bangsa Spanyol yang mendarat di Tidore, Maluku pada tahun 1521. Kemudian, disusul oleh bangsa Inggris dan Belanda. Kapal-kapal Belanda pertama kali mendarat di Pelabuhan Banten pada tahun 1596.
Masuknya bangsa Eropa ke Indonesia pertama kali ditandai dengan kedatangan bangsa Portugis pada abad 16 M kemudian diteruskan dengan kedatangan bangsa Belanda yang merupakan negara paling lama menjajah Indonesia, menyusul Inggris yang juga pernah menjajah Indonesia. Awalnya tujuan kedatangan bangsa Eropa tersebut hanya sekedar berdagang dan mencari rempah-rempah. Namun tujuan berdagang dan mencari rempah-rempah berubah menjadi keinginan menguasai dan memonopoli seluruh perdagangan yang ada di Indonesia. Kemudian berkembang lagi menjadi menjajah dan memegang penuh kekuasaan terhadap negara yang didatanginya. Dampak yang ditimbulkan dari penjajahan ini sangat besar pengaruhnya terhadap seluruh aspek kehidupan terutama bagi negara yang dikuasai. Salah satu aspek kehidupan yang memperoleh pengaruh cukup besar yaitu aspek kebudayaan. Dalam hal ini telah terjadi percampuran dan perpaduan dua kebudayaan antara bangsa pendatang dengan bangsa setempat. Hal ini dapat timbul karena bangsa Eropa telah lama menetap di Indonesia, sehingga proses interaksi antara bangsa pendatang dengan bangsa setempat hampir terjadi setiap hari. Proses interaksi inilah yang nantinya akan melahirkan kebudayaan baru dan berkembang mengikuti zaman (Djoko Soekiman 2000: 1-5)
Arsitektur bangunan kolonial yang berkembang di Indonesia umumnya telah mengalami penyesuaian dengan kebudayaan setempat. Dalam hal ini bangunan atau tempat tinggal merupakan bagian penting yang selalu ada dalam setiap peradaban hidup manusia. Sejak berkuasanya Belanda pada tahun 1619 M di Indonesia, Belanda ingin merancang kota Batavia mirip seperti kota di Belanda. Namun hal tersebut ternyata tidak dapat diterapkan sepenuhnya di Batavia karena perbedaan iklim yang ada. Maka lama-kelamaan bentuk gaya arsitektur bangunan Eropa yang dinilai tidak fungsional jika diterapkan pada iklim tropis kemudian disesuaikan dan mengikuti konsep dengan lingkungan yang tropis. (Tawalinuddin Haris 2007: 11-12).
Keberadaan gereja sebagai sarana pendukung yang menunjang kegiatan dan aktivitas masyarakat cukup penting untuk dibahas lebih jauh dalam penelitian ini, sebab fungsi utama gereja itu sendiri adalah sebagai tempat ibadah dimana saat itu umat Kristen yang ada di wilayah Meester Cornelis bertemu dan melakukan ibadah secara bersama-sama. Dari pertemuan itu akan timbul kegiatan interaksi diantara umat yang mengikuti ibadah. Umat tersebut berasal dari berbagai kalangan dan golongan bahkan ada yang sampai memiliki perbedaan dari segi kebudayaan, yaitu antara penduduk asli pribumi dengan non pribumi mereka semua berkumpul dalam satu tempat guna melaksanakan ibadah. Sebagian besar arsitektur bangunan-bangunan yang berdiri pada masa Batavia merupakan bangunan yang memiliki desain arsitektur penggabungan antara desain arsitektur Eropa yang berpadu dan menyesuaikan dengan keadaan lingkungan Batavia.
Penulis: Abdul Jalil Nst (Ketua Tim), Siti Khomariah, Novianti, Sri Indah Selpia, Cintia Kartina Lubis.
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Peristiwa Merah Putih di Manado merupakan peristiwa penyerbuan markas militer Belanda yang berada di Teling, Manado pada tanggal 14 Februari 1946. Berbagai himpunan rakyat di Sulawesi Utara, meliputi pasukan KNIL dari kalangan pribumi, barisan pejuang, dan laskar rakyat berusaha merebut kembali kekuasaan atas Manado, Tomohon, dan Minahasa yang ditandai dengan pengibaran bendera merah putih di atas gedung tangsi militer Belanda. Peristiwa tersebut merupakan bentuk perlawanan rakyat Sulawesi Utara untuk mempertahankan kemerdekaannya serta menolak atas provokasi tentara Belanda yang menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 hanya untuk Pulau Sumatera dan Jawa semata.[2]
Berita prokamasi kemerdekaan Indonesia baru terdengar oleh rakyat di Sulawesi Utara pada 21 Agustus 1945. Mereka dengan segera mengibarkan bendera merah putih di setiap area dan menduduki kantor-kantor yang sebelumnya dikuasai oleh tentara Jepang serta melucuti semua senjatanya. Namun kedatangan tentara sekutu bersama NICA pada awal Oktober 1945 di Sulawesi Utara membawa suasana rakyat kembali ricuh. Belanda menginginkan kekuasaan sepenuhnya atas Sulawesi Utara terutama Manado. Namun rakyat Manado menolak dan memilih untuk melawan. Kemudian serangan dari sekutu dan Belanda membuat Manado dan sekitarnya kembali diduduki oleh tentara Belanda.[4]
Letnan Kolonel Charles Choesj Taulu, seorang pemimpin dikalangan militer bersama Sersan S.D. Wuisan menggerakkan pasukannya dan para pejuang rakyat untuk ikut mengambil alih markas pusat militer Belanda. Rencana tersebut telah disusun sejak tanggal 7 Februari 1946 dan mereka mendapatkan bantuan seorang politisi dari kalangan sipil, Bernard Wilhelm Lapian. Puncak penyerbuan terjadi pada tanggal 14 Februari, Namun sebelum penyerbuan terlaksana, para pimpinan pasukan tertangkap oleh tentara Belanda termasuk Charles C Taulu dan S.D. Wuisan.[2] Akibatnya pemberontakan ke tangsi militer Belanda dialihtugaskan kepada komando Mambi Runtukahu yang memimpin anggota KNIL dari orang Minahasa. Bersama rakyat Manado mereka berhasil membebaskan Charlis Choesj Taulu, Wim Tamburian, serta beberapa pimpinan lainnya yang ditawan. Puncak penyerbuan tersebut ditandai dengan perobekan bendera Belanda yang awalnya berwarna merah, putih, dan biru menjadi merah dan putih lalu dikibarkan diatas gedung markas Belanda. Mereka juga berhasil menahan pimpinan pasukan Belanda diantaranya adalah pimpinan tangsi militer Letnan Verwaayen, pemimpin garnisun Manado Kapten Blom, komandan KNIL Sulawesi Utara Letnan Kolonel de Vries, dan seorang residen Coomans de Ruyter beserta seluruh anggota NICA.[6] Namun pengambilalihan kekuasaan Belanda tersebut hanya sementara.[7]
Pada awal Maret kapal perang Belanda Piet Hein tiba di Manado dengan membawa pasukan sekitar satu batalyon. Kedatangan mereka disambut oleh pasukan KNIL yang memihak pada Belanda. Kemudian pada tanggal 11 Maret, para pimpinan gerakan merah putih diundang ke kapal Belanda untuk melakukan perundingan, yang tujuan sebenarnya adalah untuk menahan para pimpinan rakyat Sulawesi Utara. Hal tersebut merupakan siasat tentara Belanda agar dapat melemahkan pejuang rakyat dan mengambil alih kembali wilayah Sulawesi Utara.
SETELAH naskah proklamasi dibacakan oleh Ir Soekarno pada 17 Agustus 1945, tapi kala itu tak sedikit pihak yang belum menerima kemerdekaan Indonesia, termasuk Belanda dan para sekutu.
Tak lama setelah naskah proklamasi itu dibacakan, Pasukan Sekutu yang diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration) datang ke Indonesia. Pada awalnya, tentara Sekutu yang baru tiba disambut terbuka oleh pihak Indonesia. Namun, setelah diketahui bahwa pasukan Sekutu tersebut diboncengi NICA yang dengan ingin menegakkan kembali kekuasaan Hindia-Belanda maka pihak Indonesia tidak lagi percaya dan mulai melakukan perlawanan mempertahankan kemerdekaan.
Peperangan pun terjadi di berbagai daerah di Indonesia, diantaranya Pertempuran Ambarawa atau “Palagan Ambarawa” pada 12-15 Desember 1945 di Magelang, kemudian Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945, dan pada Maret 1946 peristiwa “Bandung Lautan Api”, serta banyak peperangan di daerah lainnya di Indoensia.
Peperangan tersebut juga terjadi di Kalimantan Timur, tepatnya di Sangasanga yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), memiliki peristiwa heroik mempertahankan kemerdekaan RI.
Peristiwa heroik di Sangasanga itu disebut dengan Peristiwa Merah Putih 27 Januari, yang selalu diperingati setiap tahun dengan upacara bendera dan berbagai kegiatan lainnya. Peringatan Peristiwa Merah Putih Sangasanga berawal ketika tentara Belanda (NICA) pada tahun 1945 menguasai Sangasanga yang memang kaya akan sumber minyak.
Hal tersebut membuat rakyat Sangasanga bersikeras mengusir Belanda, dengan melakukan perlawanan tiada hentinya. Hingga pejuang Sangasanga mengadakan rapat dan tercetuslah rencana merebut gudang senjata Belanda dengan cara mengalihkan perhatian penjajah kepada berbagai keramaian kesenian daerah pada 26 Januari 1947.
Ditengah keramaian itu, para pejuang membagikan senjata dan amunisi untuk merebut kekuasaan pada pukul 03.00 wita dinihari 26 Januari 1947. Perjuangan pun berhasil. Sehingga pada pukul 09.00 wita kota Sangasanga berhasil dikuasai pejuang, ditandai dengan diturunkannya bendera Belanda di Sangasanga Muara oleh La Hasan.
Bendera Belanda yang terdiri tiga warna yakni merah, putih, dan biru ini kemudian dirobek warna birunya, dan di naikkan kembali bendera yang tinggal berwarna Merah Putih dengan upacara yang dihadiri para pejuang dan seluruh masyarakat dengan teriakan “Merdeka!!!.”
Peristiwa tersebut tentu saja meninggalkan kesan yang sangat mendalam bagi warga Sangasanga, terlebih para pelaku peristiwa heroik tersebut.
Sebagai tanda peringatan perjuangan, di Sangasanga dibangun monumen perjuangan terukir nama-nama pejuang yang gugur pada saat itu. Peristiwa tersebut diperingati sebagai peristiwa Perjuangan Merah Putih Sangasanga 27 Januari.
Rangkaian agenda peringatan peristiwa itu tiap tahun dilaksanakan dengan berbagai fariasi kegiatan, diantaranya Napak Tilas dan pameran pembangunan. (prokom04/sumber Markas ranting LVRI Sangasanga)
Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akhirnya tersampaikan juga di Papua. Rakyat Papua di berbagai kota seperti Jayapura, Sorong, dan Biak memberikan sambutan hangat dan mendukung proklamasi tersebut. Peristiwa Merah Putih di Biak diawali dengan penyerangan terhadap pos militer Belanda di Sorong dan Biak oleh para pejuang kemerdekaan Papua pada 14 Maret 1948.Read less
Kliping Peristiwa Menjelang Kemerdekaan Indonesia